Hawana 2022, dari Melaka ke Jalan Bersejarah

Catatan: Asro Kamal Rokan*

 

LANTAI Satu Kantor Perdana Menteri ditata untuk jamuan makan siang, Senin (30/05/22). Tamu dalam jamuan ini kami – lima belas petinggi redaksi media Indonesia dan tiga pendiri Ikatan Setiakawan Wartawan Malaysia-Indonesia (ISWAMI). Sekitar pukul 13.00, Perdana Menteri Dato’ Sri Ismail Sabri Yaakob masuk dan menyapa kami satu per satu.

Di meja utama, kami berenam mendampingi PM Ismail Sabri. Saya sebagai Presiden ISWAMI Indonesia, Ilham Bintang (pendiri/penasihat) ISWAMI, Atal S Depari (Ketua Umum PWI Pusat), Arifin Asydhad (Pemred kumparan dan Ketua Forum Pemimpin Redaksi), Datuk Mokhtar Hussain (Presiden ISWAMI Malaysia), dan Roslan Arifin (CeO Kantor Berita Bernama Malaysia).

Suasana begitu akrab. Tidak ada sekat protokler. Sesuai etika Melayu menyambut tamu, PM Ismail Sabri juga cepat akrab dengan siapa pun. Ini mungkin latar belakang hidupnya, dari keluarga sederhana. Ayahnya, Yaakob bin Abdul Rahman bekerja sebagai penyadap (penderes) karet di Kampung Bukit Tingkat, Temerloh, Pahang. Ismail – dilahirkan 18 Januari 1960 — meniti karier dari bawah, sebagai pengacara dan politisi United Malays National Organisation (UMNO). Anak bungsu dari enam bersaudara ini dipercaya sebagai menteri kabinet sejak masa PM Abdullah Badawi. Ia menjadi PM sejak Agustus 2021, dalam situasi politik bergolak, menggantikan seniornya Muhyiddin Yasin.

Selesai makan siang, dilanjutkan sambutan Datuk Mokhtar dan saya. Kemudian, PM Ismail Sabri memberi kami buku berjudul “Ismail Sabri Yaakob, Teraju Keselamatan”. Dalam suasana cair itu semua delegasi Indonesia meminta PM Ismail membubuhkan tanda tangannya di buku yang baru saja dicetak terbatas, khusus untuk kami. PM Ismail menandatangani buku untuk delegasi Indonesia, satu per satu. Kartu nama kami berserak di mejanya.

Dalam sambutan, saya menyampaikan dukungan atas gagasan PM Ismail, menjadikan bahasa Melayu sebagai bahasa resmi kedua ASEAN. Isu ini sempat menghangat di Indonesia karena perbedaan pemahaman. Bahasa Melayu, yang dimaksud PM Ismail, adalah bahasa Malayu yang digunakan di Indonesia, Malaysia, Brunei, Singapura, Thailand Selatan, Filipina Selatan, Timor Leste, dan sebagian Kamboja serta Vietnam.

Jadi, bukan bahasa Melayu Malaysia, seperti reaksi Mendikbud Nabiel Makarim. Jumlah pengguna bahasa Melayu di kawasan ASEAN diperkirakan 300 juta hingga 400 juta penduduk. Gagasan PM Ismail intinya adalah Indonesia tetap dengan bahasa Indonesia, begitu pula Malaysia dan negara lain. Akar bahasanya sama-sama Melayu.

Penyambutan PM Ismail semakin mengesankan. Usai makan siang, kami diajak ke ruang terbuka di pelataran kantor Perdana Menteri. Di sini, sudah terpasang tenda dan durian yang diberi nama udang merah, horlor, duri hitam, dan Musang King – jenis durian khas Malaysia. PM Sabri menemani kami semua.

Tidak ada ajudan yang mendampingi atau mencolek tubuh kami agar sedikit menjauh. Suasana begitu akrab dan bebas. Bahkan, PM Ismail menunjukkan cara menghilangkan aroma durian setelah dimakan, dengan cara menuangkan air putih di ruas durian dan meminumnya. Kami mencobanya. Hasilnya benar, aroma durian serta merta hilang.

Ini kelima kali saya bertemu Perdana Menteri Malaysia di Perdana Putra, sebelumnya dua kali dengan PM Abdullah Badawi, kemudian PM Najib Razak, PM Mahatir Muhammad, dan PM Ismail Sabri. Dan, kini dengan Ismail Sabri suasana terasa berbeda. Keakraban, suasana yang terbangun, menimbulkan rasa nyaman. Waktu bergerak cepat, sekitar dua jam. Tidak terasa. Kami berpisah dan membawa kenangan.

*Hawana 2022*

Pertemuan dengan PM Ismail Sabri merupakan rangkaian Hari Wartawan Nasional (Hawana) 2022 Malaysia, sehari sebelumnya di Melaka. PM Ismail hadir dan menyampaikan pemikirannya tentang kebebasan media.

“Saya akui bahwa profesi wartawan harus bebas dan berfungsi tanpa gangguan dan campur tangan pihak lain bagi menjamin kebebasan bersuara di negeri ini,” kata Ismail Sabri dalam sambutannya saat puncak Hawana 2022 di Melaka, Ahad (29/05/22).

Pernyataan Ismail Sabri ini jawaban atas Deklarasi Wartawan Malaysia, yang dibacakan para wartawan senior sebelum Ismail Sabri memberi sambutan. Deklarasi tersebut antara lain soal penghormatan terhadap hak dan kebebasan wartawan dalam menjalankan tugas jurnalistiknya.

Ini tuntutan sejak lama. Pada Hawana I/2018 di Kuala Lumpur, yang juga saya hadiri, soal ini mengemuka. Wartawan senior, Tan Sri Johan Jaaffar, dalam orasinya, menyerukan kebebasan media itu. “Beri ruang sebanyaknya kepada wartawan supaya mereka bekerja bebas, tanpa ragu dan takut dalam menyuarakan kritikan,” tegasnya.

Seruan Pemimpin Redaksi Utusan Malaysia 1992-1998 itu, seperti jalan tanpa ujung. PM Najib mungkin lebih fokus menghadapi Pilihan Raya 2018 daripada memikirkan kebebasan media. Sebulan setelah Hawana I, koalisi Barisan Nasional (BN) kalah. Berakhirnya pemerintahan Najib, tidak berarti gerbang kebebasan media terbuka luas. Tun Mahathir Mohammad dari koalisi oposisi dan penggantinya Tan Sri Muhyiddin Yassin pun disibukan konflik politik. Demokrasi dan kebebasan media seakan dua hal berbeda.

Kini, Ismail Sabri memberi jawaban. Ia juga mendorong pembentukan Persatuan Wartawan Malaysia, yang bertujuan memperjuangkan kebebasan media seluruh Malaysia. Langkah yang penting yang harus diapresiasi, sebelum kenyataan sesungguhnya tiba.

Hawana 2022 di Melaka ini dihadiri pengurus ISAWAMI Indonesia dan para pemimpin media arus utama Jakarta. Ada Ilham Bintang, Prof Dr OK Saidin, Syamsuddin Ch Haesy, Faris Saleh Bashel (ISWAMI Indonesia), Atal S Depari (Ketua Umum PWI Pusat), Arifin Asydhad (Pemred Kumparan/Ketua Forum Pemred), Akhmad Munir (Direktur Pemberitaan LKBN Antara), Tri Agung Kristanto (Wakil Pemred Kompas/Anggota Dewan Pers), Alfito Deanova (Pemred detik.com), Taufiqurahman (Pemred Jakarta Post), Setri Yasa (Pemred Majalah Tempo), Teguh Santosa (Pemred RMOL/Ketua Umum JMSI), Pung Purwanto (Pemred Sindo), Nur Hasan Murtiaji (Wakil Pemred Republika), Budiyanto (MetroTV), dan Ecep Suwardaniasa (TVOne).

Pada Hawana I/2018 di Kuala Lumpur, saya memberi saran kepada ISWAMI memperjuangkan kebebasan media dan pembentukan Majelis Media Malaysia (MMM) — semacam Dewan Pers di Indonesia — melalui undang-undang, sehingga pihak mana pun yang berkuasa, akan terikat undang-undang kebebasan media.

Di Indonesia, Undang-undang Pers 40/1999 di antaranya menegaskan bahwa pendirian perusahaan media tidak lagi melalui persetujuan pemerintah. Tidak ada lisensi dari pemerintah. Pada masa Orde Baru, mendirikan media harus izin Menteri Penerangan. Ini menyebabkan, setiap saat – apabila pemerintah tidak berkenan atas berita media – izinnya dapat dicabut dan media tersebut bubar.

Datuk Zulkifla Salleh, Presiden ISWAMI Malaysia saat itu sangat bersemangat mewujudkan MMM, setelah mendengar pemaparan anggota Dewan Pers, Hendry Ch Bangun dan Agus Sudibyo, yang hadir saat Hawana I/2018. Namun gejolak politik – menyusul kekalahan PM Najib Razak – dan pendemi Covid 19, gagasan MMM belum terealisasi. Mungkin dalam proses.

Undang-undang memang tidak sepenuhnya menjamin kebebasan media. Kebebasan terkadang ditentukan tafsir pihak berkuasa. Selalu ada celah untuk mereka siasati. Tapi dengan undang-undang, ada legalitas, ada aturan yang jadi pegangan, dan harusnya sangat mengikat – siapa pun berkuasa.

Dan, PM Ismail Sabri melalui pidatonya, telah membuka ruang kebebasan, yang tidak terjadi masa pemerintahan demokrasi sebelumnya. Ini kado indah Hawana 2022 di Melaka — kota bersejarah.

Selamat Hari Wartawan Malaysia …

Jakarta, 4 Juni 2022

Presiden Ikatan Setiakawan Wartawan Malaysia-Indonesia (ISWAMI) Indonesia.

Related posts