Kakek di Tanjungpinang Cabuli Cucu Sendiri, Psikolog: Jiwanya Terguncang

SUARA INDONESIA.MEDIA – TANJUNGPINANG. Psikolog asal Tanjungpinang Afitri Susanti mengatakan bahwa tindakan pencabulan oleh kakek SU (62) terhadap cucunya sendiri bisa diakibatkan oleh guncangan jiwa akibat pandemi Covid-19.

Masalah-masalah yang timbul akibat pandemi bisa menjadi faktor penyebab kakek SU tidak berpikir logis dan melahirkan perilaku yang menyimpang.

Read More

Menurut Afitri, tekanan ekonomi dapat menyebabkan seseorang berpikiran ngawur. Jika bukan karena himpitan ekonomi, bisa saja pelaku menyewa jasa esek-esek dari wanita penghibur.

Tindakan pelaku juga sudah menunjukkan perilaku pedofilia karena biasanya orang dewasa lebih tertarik dengan lawan jenis yang dewasa juga.

“Tapi sekarang kan apa yang ada di depan mata, tidak berpikir masa depan korban, mengambil jalan pintas,” katanya, Jum’at (10/9/2021) siang.

Afitri menerangkan, perbuatan pelaku ini akan berdampak terhadap masa depan korban.

Ia menuturkan, pelaku pencabulan yang memiliki hubungan keluarga dengan korban bukan lah fenomena baru, apalagi kasus pencabulan anak di Indonesia memang di dominasi oleh pelaku yang memiliki kedekatan dengan korban.

Biasanya, pelaku pencabulan ini berkuasa atas korban dan memiliki kesempatan untuk melancarkan niat jahatnya.

“Jarang sekali pelaku pencabulan (anak-red) ini dilakukan orang luar,” terangnya.

Sebenarnya, kasus pencabulan anak bawah umur ini bisa saja diminimalisir dengan edukasi seks dan pengawasan orang tua.

Namun akibat stigma masyarakat yang masih memandang edukasi seks sebagai hal tabu menyebabkan program pendidikan seksual gagal.

Bahkan tak sedikit orang tua yang menolak memberikan edukasi seks kepada anaknya.

Kondisi ini mengakibatkan si anak mencari tahu melalui media sosial dan teman-teman sebayanya.

Rasa ingin tahu anak yang tanpa bimbingan orang tua ini akan berujung ke perilaku menyimpang jika ada rangsangan dari lawan jenisnya.

“Dengan pengetahuan yang tidak dapat dari orang tua, kecenderungan untuk mencobanya itu tinggi, ketika ada stimulus keingintahuannya tinggi,” ungkapnya.

Menurut Afitri, para orang tua sudah selayaknya memberikan edukasi seks secara umum sejak anak masih berusia 3 tahun.

Selain itu, pernikahan anak atau usia dini juga dapat menjadi penyebab kendurnya pengawasan orang tua terhadap anak.

Biasanya, pasangan muda belum siap dan belum mengetahui perannya sebagai orang tua.

Selain itu, pernikahan dini juga kerap menyebabkan rumah tangga yang tidak harmonis sehingga mengakibatkan berkurangnya perhatian orang tua terhadap anak.

“Banyak kasus anak-anak menjadi rusak karena orang tuanya mengalami hal yang sama atau belum siap menjadi orang tua,” tambah Kabid Data dan Dokumentasi Dinas Kebudayaan Kepri itu.@iman

Related posts