Pertamina Jalankan Langit Biru, DPRD Kepri: Momen Tak Pas

suaraindonesia.media,-Kepulauan Riau. Kebijakan Pertamina menerapkan program langit biru di Pulau Bintan mulai menuai sorotan. Meskipun Pertamina memberikan promo pemotongan harga pertalite dari Rp 8 ribu per liter menjadi Rp 6.850 per liter namun masih dinilai memberatkan. Bukan tanpa alasan, Pertamina hanya memberikan promo sampai bulan Desember mendatang dan ada kemungkinan harga pertalite kembali ke Rp 8.000 per liternya.

Tiga anggota DPRD Kepri yakni Rudy Chua, Sirajuddin Nur dan Hanafi Ekra pun sepakat jika pelaksanaan langit biru di momen tidak pas. Seperti Rudy Chua, menurutnya saat ini daya beli masyarakat masih rendah. Namun ia bingung dengan sikap masyarakat yang tidak menunjukkan sikap menolak dan kelihatan lebih menerima.

Read More

“Momen ini tidak tepat dilakukan pergantian, kondisi daya beli masih rendah, tapi gejolak di masyarakat tidak terlalu tinggi,” katanya, Rabu (15/9).

Rudy pun mengaku, peniadaan BBM premium ini sudah dikeluhkan pemilik kendaraan roda empat. Tapi pemilik kendaraan roda dua masih terkesan menerima. Sebenarnya kata Rudy, sedari dulu Pertamina sudah ingin menghapuskan premium. Tapi sangat disayangkan, Pertamina tidak mau terus terang dan terkesan tertutup.

“Yang disampaikan Pertamina cuma dalam proses,” ujarnya.

Anggota Fraksi Harapan itu pun menyebut jika Pemprov Kepri tidak bisa berbuat banyak, apalagi ini sudah menjadi kebijakan pusat. Untuk mensubsidi pertalite pun tidak mungkin dengan kondisi keuangan daerah saat ini.

Sebenarnya kata Rudy ada satu cara menurunkan harga pertalite yakni penghapusan pajak bahan bakar. Namun kebijakan ini riskan karena berdampak langsung ke PAD Kepri.

“Sebenarnya pemerintah bisa mensubsidi dengan penghapusan pajak bahan bakar, tapi ini akan berdampak pada penerimaan PAD,” ucapnya.

Hal senada juga disampaikan Sirajuddin Nur, menurutnya konversi premium ke pertalite ini akan memberatkan masyarakat. Namun apa hendak dikata, Pemerintah Pusat sudah mengumumkan regulasi penggunaan bahan bakar standar euro-4 di tahun 2018 lalu. Premium juga sudah tidak dijual karena tidak ramah lingkungan.

Anggota Fraksi PKB-PPP itu pun mengungkapkan bahwa APBD Kepri saat ini tidak mampu menalangi subsidi pertalite.

“Untuk memberikan subsidi utk bahan bakar pertalite ini tentu keuangan daerah kita belum memadai,” ungkap Sirajuddin.

Lanjut Sirajuddin, tingginya harga bahan bakar di Indonesia akibat penyediaan bahan bakar yang masih di monopoli Pertamina. Kondisi ini mengakibatkan tidak adanya kompetisi harga layaknya di beberapa negara tetangga. Mau tidak mau, masyarakat pun harus menerima bahan bakar pertalite yang disebut lebih ramah lingkungan. Meski demikian, Sirajuddin mengaku masih menaruh harapan pada pemerintah untuk menurunkan harga pertalite.

“Pemerintah perlu menyusun skema terbaik agar masyarakat tidak terbebani dengan harga tinggi untuk mendapatkan bahan bakar beroktan tinggi seperti pertalite, pertamax dan pertamax turbo,” harapnya.

Ketua Fraksi PKS Hanafi Ekra mengatakan, penerapan langit biru di tengah pandemi akan memberatkan masyarakat. Mau tidak mau masyarakat dipaksa untuk menggunakan pertalite meski daya beli masyarakat masih rendah.

“Menurut saya terlalu dini, dalam kondisi pandemi ini pasti terasa berat. Ini bukan lah solusi, rakyat terpaksa, mau tidak mau mereka harus ikut karena ini kebutuhan dasar,” imbuhnya.

Bagi Hanafi, di tengah pandemi, pemerintah seharusnya melahirkan kebijakan populis yang meringankan beban masyarakat.

“Harusnya masyarakat diberikan kemudahan-kemudahan dan keringanan-keringanan,” ucapnya.

Hanafi menuturkan, APBD Kepri saat ini tak sanggup mensubsidi pertalite. Apalagi Pemerintah Pusat memotong dana transfer hingga 8 persen.

“Pemda sudah berat dengan UU 23 2014, terlalu banyak beban Pemda apalagi ada potongan dana transfer pusat 8 persen,” tutupnya. (Iman)

Related posts