BERSIAP MENGARUNGI METAVERSE
Salah satu teknologi digital yang akan berkembang pesat pada 2022 adalah metaverse. Perbincangan tentang metaverse dimulai sekitar akhir Oktober 2021 lalu ketika Facebook resmi berganti nama menjadi Meta, sebagai tekad memasuki bisnis baru teknologi digital yang berbasis “Virtual and Augmented reality (VR/AR)”.
Sejak saat itu, diskusi tentang metaverse menjadi trending topic di berbagai media di seluruh dunia. Bagaimana tidak? Teknologi baru ini akan “mengubah peradaban dan perekonomian dunia secara revolusioner di masa depan!”
Metaverse pada hakikatnya jagat raya baru yang dibangun di dunia virtual. Awalan meta diambil dari bahasa Yunani yang berarti “lebih dari” atau “melampaui”* sepadan dengan kata beyond dalam bahasa Inggris.
Dalam jagat raya baru ini, kita bisa bertemu secara virtual dengan pengguna lain yang sedang daring dalam dunia digital 3D (tiga dimensi). Diri kita akan “diwakili” avatar 3D”, demikian juga pengguna lainnya. Inilah yang membedakan metaverse dengan internet 2D.
Dalam internet konvensional, kita hanya bisa bertemu pengguna lain dengan menggunakan nama akun, foto, atau video 2D. Untuk memasuki metaverse, kita harus menggunakan kacamata khusus, kacamata VR (virtual reality).
Misalnya, seseorang bisa memasuki pameran dan konferensi ilmiah yang diselenggarakan dalam bentuk metaverse. Setelah mendaftar, dia bisa datang dan memasuki ruang pameran dengan kacamata VR yang dia miliki.
Dia bisa berkeliling ke seluruh booth pameran, bertanya ke penjaga stan serta bertemu pengunjung lain “secara virtual dan real time.”
Orang tersebut juga bisa melihat berbagai papan iklan di sepanjang pameran dan bertransaksi jual-beli secara langsung di dunia virtual ini. Semuanya persis seperti dia mengunjungi pameran di dunia nyata.
Bedanya, dia bisa melakukannya sambil duduk menggunakan baju tidur di rumah, yang masuk ke pameran adalah perwakilan dirinya (avatar) yang mengenakan setelan jas lengkap yang dia kendalikan dengan kacamata VR, program komputer, dan platform metaverse. “Setelah melihat pameran, dia bisa menjadi pembicara di konferensi ilmiah di depan peserta lain yang tentu dalam bentuk avatar juga”.
Bentuk 2D dari konferensi seperti ini, sering kita lakukan sekarang menggunakan Zoom, Microsoft Teams, atau Google Meet. Platform konferensi konvensional ini akan segera bertransformasi menjadi metaverse.
Dari contoh di atas, banyak peluang bisnis baru di era metaverse. Pertama, menyediakan platform dan co-working space di dunia virtual 3D. Ini perlu saat pandemi ketika sebagian bekerja jarak jauh dengan platform 2D yang kemampuannya terbatas.
Dengan teknologi metaverse yang ditunjang teknologi internet 5G, proses kolaborasi secara daring lebih mudah dan efektif.
Dalam bidang keteknikan, insinyur dari berbagai belahan dunia dapat berinteraksi dalam dunia virtual 3D secara real-time dan melakukan berbagai simulasi 3D secara simultan untuk mencari desain pesawat ruang angkasa yang optimum *tanpa bertemu fisik.
Penggunaan metaverse “untuk pengambilan keputusan cerdas” seperti ini, juga diperlukan berbagai bidang lainnya” seperti kesehatan, sosial, kepolisian, politik, agromaritim, pemerintahan, dan militer.
Bisnis kantor virtual 3D ini akan sangat prospektif dengan adanya perubahan pola pikir dan budaya masyarakat modern pasca pandemi, yang lebih menyukai bekerja dari rumah dengan seefektif dan seproduktif mungkin.
Dengan seringnya masyarakat menggunakan metaverse, akan terbuka peluang bisnis kedua, yaitu marketplace dan periklanan. Di setiap sudut ruang metaverse, kita bisa memasang papan iklan yang menarik sehingga bisa meningkatkan penjualan.
Dengan seringnya masyarakat menggunakan metaverse, akan terbuka peluang bisnis marketplace dan periklanan.
Di masa depan, transaksi e-commerce di metaverse bisa triliunan rupiah dan lebih besar daripada omzet jual beli daring saat ini. Sebab, promosi produk bisa di tempat dan suasana sesuai realitas di dunia nyata sehingga lebih atraktif dan mengena di hati konsumen.
Bisnis ketiga lebih unik lagi karena belum kita kenal sebelumnya. Dalam bisnis ini, kita bisa membeli atau menjual produk yang hanya ada dalam bentuk digital. “Bentuk fisiknya tidak ada”.
Sebagai contoh, “seorang” avatar akan menghadiri pertemuan bisnis, lalu membeli jas dan dasi di toko dalam metaverse. Transaksi dilakukan riil, artinya ada uang yang berpindah dari pembeli ke penjual. Kelak, avatar ini bisa menjualnya jika sudah tak diperlukan.
Dalam metaverse seperti ini, kita juga bisa melakukan investasi dengan membeli “tanah” atau space. Harga “tanah” ini suatu saat naik karena tingginya permintaan dan kalau dijual tentu menjadi sumber pendapatan yang sangat baik bagi investor.
Sertifikat kepemilikan “tanah” dibuat dengan teknologi “Non Fungible Token”(NFT) berbasis blockchain yang lebih aman dan sangat sulit dipalsukan.
Fenomena ini sangat aneh bagi sebagian orang tetapi dalam bentuk sederhana hal ini sebenarnya tak ubahnya seperti kita melakukan jual-beli nama alamat web atau domain di internet 2D yang ada saat ini.
Transaksi dan investasi dalam metaverse seperti inilah yang disebut “Realitas Virtual”* yang akan membentuk masa depan kita. Dengan fenomena ini, dapat diramalkan ekonomi digital akan segera terdisrupsi oleh ekonomi metaverse yang lebih menakjubkan.
Transaksi dan investasi dalam metaverse seperti inilah yang disebut realitas virtual yang akan membentuk masa depan kita. Bisnis lain di era metaverse di antaranya mensponsori acara dalam metaverse (seminar, pameran, konser), gim metaverse, jasa konsultasi terkait metaverse, perangkat keras metaverse (kacamata dan lainnya), e-learning dan pendidikan dengan metaverse serta meningkatkan efisiensi industri dengan teknologi metaverse.
Lalu apa implikasi teknologi metaverse ini untuk kita saat ini? Hal yang jelas, “kita tidak mau hanya menjadi pengguna teknologi metaverse”.
Saat ini, raksasa teknologi digital seperti Meta, Google, Microsoft dan lainnya berpacu merajai bisnis metaverse kemudian menjualnya ke negara ketiga. Maka, kita “HARUS” mempersiapkan diri “menguasai” bahkan menjadi inovator berbagai aspek dari metaverse ini.
Kita harus berpacu dan berkolaborasi dengan negara maju untuk mempelajari berbagai ilmu dan teknologi digital terkait metaverse. Berbagai pusat riset teknologi digital maju harus segera dibangun di berbagai perguruan tinggi di Indonesia.
Sebagai contoh, di IPB pada 2017 dibentuk grup riset *”Blockchain, Robotics and Artificial Intelligence Networks” (BRAIN) yang sekarang perlu bertransformasi menjadi Meta-BRAIN. Selain itu, kita harus mempersiapkan SDM unggul di bidang teknologi digital maju.
Hanya dengan nasionalisme tinggi, kita bisa menyaingi raksasa teknologi digital maju dunia “agar dapat duduk sama rendah dan berdiri sama tinggi dengan mereka”. Kita tentu tak mau menjadi korban kapitalisme teknologi yang semakin mengancam dunia. SELAMAT BELAJAR GENERASIKU…
Oleh : Yandra Arkeman ( Profesor di Program Studi Teknik Industri Pertanian, IPB University dan Peneliti AI/Blockchain ).