Transformasi LAM Kepulauan Riau: Menjaga Marwah Adat dengan Tata Kelola Modern dan Kemandirian Ekonomi

Lembaga Adat Melayu (LAM) Kepulauan Riau menggelar Lokakarya (Workshop) bertajuk “Tata Kelola dan Tata Kerja LAM Kepulauan Riau Sebagai Mitra yang Berkecimpung Dalam Adat Istiadat Budaya Melayu” di Gedung LAM Provinsi Kepri Kota Tanjungpinang. Senin. (01/12/2025). F-ist

TANJUNGPINANG – BALAI Adat Seri Indera Sakti, Tanjungpinang, menjadi saksi bisu perhelatan penting bagi masa depan pelestarian budaya Melayu. Pada Senin, 1 Desember 2025, Bidang Organisasi dan Kaderisasi Lembaga Adat Melayu (LAM) Kepulauan Riau menggelar Lokakarya (Workshop) bertajuk “Tata Kelola dan Tata Kerja LAM Kepulauan Riau Sebagai Mitra yang Berkecimpung Dalam Adat Istiadat Budaya Melayu.”

Acara ini bukan sekadar pertemuan seremonial, melainkan sebuah titik balik strategis untuk menjawab tantangan zaman. Tiga narasumber utama hadir membawa perspektif yang saling melengkapi: akar sejarah yang kuat, sinergi pemerintahan, dan modernisasi organisasi.

Read More

Mengukuhkan Kepri Sebagai “Negeri Bunda Tanah Melayu” Membuka wawasan mengenai fondasi budaya, Prof. Dato’ Perdana Dr. Drs. H. Abdul Malik, M.Pd., selaku Dewan Penasihat LAM Kepri, menekankan posisi strategis Kepulauan Riau. Beliau mengingatkan bahwa Kepulauan Riau adalah “Negeri Bunda Tanah Melayu,” di mana semua jenis kebudayaan Melayu di daerah ini berperan penting bagi perkembangan kebudayaan Melayu di kawasan lain.

Dalam paparannya, Prof. Malik menegaskan bahwa pelestarian tidak boleh statis. Warisan budaya mencakup tangible (benda) dan intangible (takbenda). Beliau memaparkan kekayaan pengetahuan tradisional Melayu, mulai dari gastronomi seperti gulai asam pedas dan roti jala , hingga kearifan ekologis dalam menentukan musim melaut berdasarkan ilmu astronomi tradisional.

Namun, tantangan terbesar adalah pewarisan. Prof. Malik menguraikan peran vital LAM yang mencakup delapan aspek, mulai dari inventarisasi, pemeliharaan, hingga pengembangan sumber daya manusia melalui standardisasi dan sertifikasi. “Diperlukan literasi digital sehingga teknologi informasi dan komunikasi dapat digunakan untuk pelestarian dan pengembangan adat,” tegasnya, menyoroti pentingnya platform seperti YouTube dan media sosial untuk penyebaran konten budaya.

LAM Sebagai “Cultural Watchdog” dan Mitra Strategis Pemerintah
Dari perspektif pemerintahan, Any Lindawaty, SH. MH, Widyaiswara Ahli Madya dari BPSDM Provinsi Kepulauan Riau, menyoroti posisi tawar LAM yang harus naik kelas. Dalam materinya, Any menegaskan bahwa kemitraan yang kuat adalah kunci.

“LAM harus diposisikan sebagai Mitra Strategis (Strategic Partner), bukan sekadar pelengkap program Pemerintah,” ungkap Any. Beliau mengusulkan peran LAM sebagai Cultural Watchdog atau pengawas kultural untuk memastikan program pembangunan daerah, terutama di sektor pariwisata dan tata ruang, tetap selaras dengan nilai-nilai Melayu.

Hal ini relevan mengingat posisi Kepri sebagai pintu masuk wisatawan mancanegara terbesar ketiga di Indonesia setelah Bali dan Jakarta. Any menekankan bahwa sinergi ini harus mendukung visi pembangunan daerah “Kepulauan Riau Maju, Makmur, dan Merata” serta selaras dengan Asta Cita Presiden Prabowo, khususnya dalam memperkuat penyelarasan kehidupan yang harmonis dengan budaya.

Menuju Organisasi yang “Agile” dan Mandiri Secara Finansial Sesi pamungkas yang dibawakan oleh Hafiz Supriyadi, S.T., M.Eng, Widyaiswara Ahli Madya BPSDM Kepulauan Riau, membawa angin segar perubahan tata kelola. Hafiz memperkenalkan konsep Agile Governance, sebuah pendekatan tata kelola yang gesit, luwes, dan responsif terhadap perubahan zaman tanpa meninggalkan nilai sakral adat.

Hafiz menyoroti tantangan demografi di mana lebih dari 50% penduduk Kepri adalah generasi muda digital (Gen Z dan Milenial). “Jika tata kelola LAM tidak masuk ke ranah digital yang transparan dan responsif, maka adat Melayu akan dianggap asing oleh pewarisnya sendiri,” ujarnya.

Untuk itu, Hafiz menawarkan konsep Ambidextrous Organization. Di satu sisi, LAM harus melakukan “Eksploitasi” dengan menjaga nilai inti dan sakralitas adat (Tunjuk Ajar Melayu). Di sisi lain, LAM harus melakukan “Eksplorasi” dengan berinovasi dalam cara kerja dan tata kelola.

Lebih jauh, Hafiz menekankan pentingnya diversifikasi pendapatan agar LAM tidak hanya bergantung pada dana hibah pemerintah. Ia mengusulkan pembentukan unit usaha profesional, seperti:
• Sertifikasi dan Konsultasi: Jasa konsultasi desain bangunan adat dan lisensi simbol budaya.
• Optimalisasi Aset: Penyewaan Balai Adat untuk pernikahan bernuansa Melayu yang berkelas.
• Wisata Edukasi: Penerapan tiket masuk untuk tur budaya yang edukatif.

Lokakarya ini menghasilkan “benang merah” yang kuat: LAM Kepri sedang bertransformasi. Dengan memadukan kekayaan filosofi masa lalu yang dipaparkan Prof. Abdul Malik, posisi strategis dalam kebijakan yang digariskan Any Lindawaty, dan manajemen modern yang ditawarkan Hafiz Supriyadi, LAM Kepri siap melangkah menjadi organisasi yang mandiri, bermarwah, dan relevan di era global.

Sebagaimana dinukil dari materi Prof. Abdul Malik: “Apabila terpelihara mata, sedikitlah cita-cita. Apabila terpelihara kuping, khabar yang jahat tiadalah damping.”. Transformasi ini adalah upaya nyata untuk memelihara “mata dan kuping” lembaga adat agar adat Melayu tak hanya menjadi cerita masa lalu, tetapi menjadi identitas yang hidup dan menghidupi di masa depan. (***)

Related posts