suaraindonesia.media,- Tanjungpinang. Letnan Jendral TNI (Purn) Raden Ibnu Sutowo lahir di Grobongan, 23 September 1914 dari pasangan Raden Sastrodiredjo dan Raden Ayu Kusnariyah. Menurut silsilah, beliau masih keturunan penguasa Kerajaan Pajang, yaitu Jaka Tingkir. Setelah menamatkan ELS dan MULO, ia berangkat ke Surabaya, menempuh pendidikan dokter di Nederlansch Indische Artsen School.
Kariernya bermula dengan menjadi dokter negeri untuk pemberantasan malaria di Palembang. Setelahnya, ia dipromosikan menjadi Kepala RSU Palembang. Berkat prestasinya selama memimpin, kariernya terus melesat hingga menjadi Panglima TI-II Sriwijaya, lalu menjadi Menteri Migas dan Direktur PN Pertamina.
Konfrontasi Indonesia-Malaysia memuncak saat Federasi Malaysia dibentuk pada 16 September 1963, sehingga Batam dan pulau di sekitarnya dijadikan pangkalan Angkatan Perang Republik Indonesia. Kala itu, Soeharto bertugas di Batam dan melihat pembangunan Batam kalah jauh ketimbang Singapura di seberangnya. Usai konfrontasi dan Soeharto menjadi presiden, ia ingin memajukan Batam agar menjadi Singapura-nya Indonesia.
Karena harga minyak dunia tengah melambung naik, PN Pertamina dinilai tepat secara finansial untuk mengurus pembangunan Batam. Sebab itulah, Presiden menunjuk Ibnu Sutowo selaku Direktur PN Pertamina menjadi Penanggung Jawab Pembangunan Batam sejak 1969. Ia kemudian diangkat menjadi Ketua Otorita Batam pertama pada 1971.
Memajukan Batam yang masih diselimuti hutan tidaklah mudah, apalagi memakan biaya kecil. Selama memimpin Otorita Batam, Ibnu Sutowo menjadi sosok visioner yang tak banyak bicara tetapi terus disiplin bekerja. Ia telah meletakkan dasar rencana pengembangan Batam dan menjadikan Batam sebagai basis logistik eksplorasi minyak lepas pantai sesuai arahan pemerintah pusat. Jabatannya pun berakhir pada 1976 dan digantikan Johannes Baptista Sumarlin. (Red/Neo Historia Indonesia)